Hak Prerogatif

Sistem pemerintahan presidensial memberikan kewenangan prerogatif yang melekat pada jabatan presiden. Dengan demikian, hak prerogatif presiden – dalam catatan ini – untuk memilih para pembantunya, tak pernah perlu diributkan. Tapi republik ini ternyata makin suka menikmati tontonan, juga yang sengaja dipertunjukkan guna mengesankan bahwa presiden adalah seorang yang tak sembrono atau grusa-grusu memilih. Semua calon menteri diaudisi, harus menjalani fit and proper test di hadapan Presiden dan Wakil Presiden RI, juga dites kesehatan jiwa-raganya. Dan karena sudah jadi tontonan publik, maka membaca, menonton, dan ikut berkomentar untuk dibaca maupun ditonton adalah sesuatu yang wajar (dan mungkin juga diharapkan).

Disediakan pula kesempatan bagi setiap calon untuk berbicara kepada masyarakat. Karena belum resmi diumumkan apalagi dilantik, si calon seolah-olah mengajak masyarakat penonton untuk menebak dia akan menjadi menteri apa. Sementara itu, masyarakat pun sudah mendapatkan bocoran – yang sangat mengherankan, semakin lazim terjadi (Apakah karena belum dan atau karenanya perlu UU Kerahasiaan Negara ya?) – tentang susunan Kabinet Indonesia Bersatu (jilid?) II. Nyaris tidak ada kejutan, kecuali tentang penunjukan Menteri Kesehatan, karena setiap orang dipanggil untuk jabatan yang konon memang akan dipercayakan kepadanya, tanpa kandidat lain di posisi yang sama.

Maka selayaknya tayangan infotainment, kamera pun berlanjut ke rumah-rumah para calon guna meliput ekspresi si calon pada saat namanya diumumkan sebagai menteri. Ada yang mengesankan jabatan itu biasa-biasa saja, ada pula yang berterus terang menyatakan bahwa jabatan itu diharapkannya. Segera setelah namanya disebut sebagai calon menteri ini atau itu dalam KIB II, pemilik nama sudah sangat lancar berbicara tentang kewajiban yang akan dilaksanakannya lima tahun ke depan. Maklum, sebagian besar yang terpilih adalah para politisi yang sudah biasa bicara di depan kamera dan – seperti pemilihnya – sudah ‘sadar kamera’.

Presiden RI 2009-2014 oleh para pengamat sering disebut sebagai seorang pemimpin yang sangat memerhatikan pencitraan dirinya kendati pernah mempersetankan pencitraan tatkala merasa gerah dinilai begitu. Sikap reaktifnya dalam mengomentari setiap omongan orang lain tentang dirinya kadang-kadang justru membuatnya tampak genit. Beliau adalah purnawirawan jenderal militer satu-satunya yang sering menepuk dadanya sendiri sambil mengatakan bahwa ia sakit (hati?) karena komentar dan kritik tentang dirinya.

Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Presiden RI 2009-2014 dengan hak prerogatifnya menyatakan bahwa sang calon menteri yang gagal sesungguhnya sudah akan diajaknya masuk kabinet sejak tahun 2004. Apabila secara tiba-tiba ia tak jadi masuk KIB II, bukan hal lain, tetapi karena Presiden RI ngeman, tak ingin membebaninya pekerjaan yang tingkat stress-nya tinggi, dan memandangnya lebih tepat di posisi yang lain. Padahal sudah terlanjur tersiar kabar, bahwa tak jadi masuknya justru karena alasan kesehatan. Semua juga paham, tes kesehatan biasa menjadi alasan terakhir tapi paling efektif untuk menjelaskan penolakan atau pembatalan.

Itu kalau benar. Kalau tidak benar, diperlukan keterangan pers agar tak menjadi kisruh yang berkepanjangan. Seandainya tak hanya satu yang diaudisi untuk setiap jabatan, barangkali calon yang tak jadi diangkat takkan merasa (terlalu) dipermalukan. Untung jika calon yang dibatalkan berhati besar dan hanya mengatakan: “Kali lain jangan begitu …” sesudah terlanjur mejeng disorot banyak kamera, majang karangan bunga ucapan selamat. Jempolnya pun mungkin terlanjur kaku karena membalas sangat banyak sms dan menerima panggilan ke telepon selulernya.

Yang mengomentari hak prerogatif

Menteri diangkat dan diberhentikan presiden. Ia adalah pembantu presiden. Maka, pertama, yang tidak diangkat dan atau diperpanjang seiring terpilih kembalinya incumbent – meskipun merasa layak dan sudah berbuat banyak – sesungguhnya tak perlu terlalu lama memelihara kekecewaan. Pengajuan namanya oleh partai politiknya, kelompoknya, maupun dirinya sendiri, baik secara langsung kepada yang berhak maupun melalui tim atau sistem, keluarga dan orang dekat, dan sebagainya, adalah usulan atau lamaran. Bisa diterima, bisa ditolak. Usul yang diminta pun tak harus dilaksanakan pemintanya, apalagi yang didesak-desakkan sekadar mohon diperhatikan.

Demikianlah semestinya, hak prerogatif itu tak perlu menambah jumlah anggota barisan sakit hati sebagaimana biasa terjadi ketika jabatan yang sudah terlanjur dijanjikan, dan kemudian diharapkan, ternyata tak kunjung diserahterimakan. Mereka yang merasa sudah ‘berdarah-darah’ dan pejah gesang tumut panjenenganipun tapi tak mendapatkan anugerah – bahkan kemudian dilirik pun tidak – mestinya belajar bahwa semua orang bisa merasa bisa jadi menteri atau pejabat tinggi, tetapi jumlah jabatan sangat terbatas. Jabatan menteri atau pejabat tinggi setingkat menteri di RI tak sebanyak dan tak segampang diada-adakan seperti di republik tetangganya yang hanya tayangan parodi di televisi.

Kenyataannya, para politisi kita sunguh ‘menyadari’ definisi politik menurut Harold D. Laswell dalam buku Who gets What, When and How: “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana.” Kalau tidak mendapatkan apa-apa di sini, ya lompat pagar, menjadi hero di sana. Jarang ada yang bermental tahan bantingan dan bersedia setia, terus bekerja keras dalam waktu yang panjang di dalam satu partai saja untuk merintis karirnya sebagai politisi yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Mental menerabas adalah ruh perjuangan sebagian besar politisi kita juga. Kalau bisa sekarang, mengapa menunggu besok? Kalau tidak bisa dapat di sini dan sekarang, mengapa tidak mencoba di sana, yang tampaknya lebih gampang? Kalau di sini tombok terus, mengapa tidak mencari gizi yang lebih banyak dan lebih menjanjikan kebaikan di tempat lain? Setia? Ideologi? Apa itu?

Kedua, yang diangkat – semoga – sadar bahwa jabatannya itu bisa ditarik oleh yang mengangkatnya untuk diberikan kepada orang lain yang menurutnya lebih tepat. Hal itu bisa terjadi tiga bulan yang akan datang, satu tahun, kapan saja. Kalau kinerjanya dinilai baik, loyalitasnya kepada yang mengangkat tak pernah diragukan, dan tak terjadi ‘kecelakaan sejarah’, maka ia mungkin akan terus menjabat dan berhenti bersama-sama dengan yang mengangkatnya.

Maka, sangat baik mengingat-ingat nasihat luhur ini: “Ajining diri saka lathi” (Kemuliaan diri berasal dari lidah). Belum mulai bekerja sudah banyak omongnya, mungkin justru akan jadi bumerang yang merugikan. Sebab, omong memang jauh lebih gampang ketimbang ngemong diri sendiri dan orang lain dalam keseharian menjalankan tugas dan kewajiban. Wejangan Presiden RI 2009-2014 dalam Rapat Paripurna KIB II perdana sudah mengingatkan para pembantunya untuk berperilaku seperti dikehendakinya.

Ketiga adalah yang paling banyak. Yang tidak pernah berpikir akan diangkat karena alasan apa pun, para pakar dan pengamat ipoleksosbudhankam maupun masyarakat luas, yang biasa disebut oleh presiden sebagai saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air yang dicintai dan dibanggakan, justru gampang berkomentar sekadar meluapkan dukungan abang-abange lambe alias basa-basi atau sebaliknya mengritik yang dipilih atau tak dipilihnya dalam Pemilihan Umum Presiden 2009 yang lalu itu karena penonton biasanya memang selalu merasa lebih pandai daripada pemain. “Gajah diblangkoni, wani kocah nora nglakoni”.

Antara harapan, perkiraan dan kenyataan

Tak disangsikan, komposisi KIB II pastilah sudah digarap matang oleh presiden, wakil presiden dan timnya dalam sistem yang dipilih untuk dilaksanakannya. Kalau KIB II berisi lebih banyak petinggi parpol ketimbang profesional, kiranya dimaklumi bahwa koalisi memang mengandaikan adanya pembagian kekuasaan untuk mempertahankan kemenangan.

‘Politik balas budi’ adalah keniscayaan ketika kemenangan diperoleh secara susah payah dan upaya mempertahankannya pun tidak mudah. Sangat mungkin, lebih mudah mengatur politisi yang kurang profesional ketimbang profesional yang ternyata berperilaku politis. Maka dikotomi antara politisi dan profesional pun tak perlu diributkan karena semua tahu ada politisi yang juga profesional dan ada profesional yang bisa lebih politis ketimbang para politisi praktis.

Pemilihan lebih banyak petinggi parpol ketimbang profesional mengamankan kedudukan dan kenyamanan presiden dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Bukankah setiap orang berkecenderungan selalu mengedepankan egonya? Kalimat manis politisi: “Kesetiaan kepada parpol berakhir ketika kesetiaan kepada negara dimulai” hanyalah lips-service dan dorongan sesaat karena semua juga tahu tabiat sebagian besar politisi kita yang tetap cenderung lebih setia kepada kepentingan pribadinya. Siapa yang suka kebijakannya dianggap tak bijaksana? Dan – kalau jujur – bukankah setiap penguasa sulit membantah adagium Lord Acton: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” sambil terus berusaha menambah kekuasaannya?

Politisi yang dipilih menjadi menteri pastilah bukan orang sebarangan di partai masing-masing. Mereka diharapkan bisa meredam kenakalan teman-teman mereka di parlemen melalui kewibawaan kedudukan mereka, sebagai petinggi parpol sekaligus menteri. Kalau bisa, sungkanlah kepada menteri yang sekaligus petinggi parpol, apalagi Ketua Umum. Kalau tidak bisa, ada mekanisme yang selalu bisa disesuaikan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga setiap parpol untuk mengatasi masalah itu. Kalau bisa, tokoh parpol yang sudah jadi menteri didorong pula menjadi petinggi parpol asalnya agar koalisi semakin kokoh dan bisa bikin semua urusan menjadi lancar.

Bagaimana dengan oposisi? Dalam sistem presidensial, tidak ada oposan. Yang ada – menurut para ahli othak-athik gathuk khas kita – parpol yang tak tergabung dalam koalisi pemerintah adalah penyeimbang, mitra kritis dan strategis pemerintah (bingung kan?). Apalagi dalam pemerintahan yang kuat dan dibikin semakin memusat, masyarakat yang tak suka dan jenuh ribut akan manut atau gampang dibikin takut. Yang penting sandang-pangan-papan mereka tercukupi dan pemimpin mereka rajin menghibur tatkala hak-hak dasar mereka belum dapat diwujudkan dalam waktu dekat.

Para profesional – politisi maupun bukan – yang didudukkan dalam jabatan politik justru bisa menjadi pesaing dan penantang. Bukankah Pak SBY sendiri sudah menjadi pelaku sejarah keberhasilan semacam itu? Maka, pemilihannya terhadap Pak Boediono sebagai pasangan adalah pertanda awal agar fenomena ‘matahari kembar’ tak terulang. Selain karena Pak Boediono oleh koleganya dikenal kalem, bicara seperlunya, pekerja keras, santun dan ‘tahu diri’, beliau pun adalah ekonom yang cukup disegani. Tanpa mengabaikan kemungkinannya tersandung masalah lama yang baru dicoba diungkit sekarang maupun yang akan datang, sekurang-kurangnya Wapres RI takkan pernah menjadi ancaman bagi Presiden RI sekarang.

Pendek kata, komposisi KIB II kemungkinan besar sudah dirancang sedemikian rupa agar mudah dibongkar-pasang untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman dan kebutuhan sekarang dan masa depan. Profesional yang dipilih janganlah yang punya ruh politik. Sedikit saja berbuat salah, masih banyak profesional lain yang antre untuk mengisi jabatan yang ditinggalkannya. Petinggi parpol yang dipilih, haruslah yang bisa mengendalikan kawanannya, terutama yang memiliki kursi di parlemen. Tetap harus ada perdebatan di Senayan karena bicara (parle) adalah tugas anggota parlemen di negara demokratis. Tapi, jangan bikin pemerintah terlalu repot. “Ngono yo ngono, ning ojo ngono.”

Apa lagi yang bisa diandalkan petinggi parpol yang kebetulan juga tak berkinerja baik sebagai menteri, bila mengendalikan kawanannya saja pun tak mampu? Kalau tak dianggap lagi oleh kawanannya, dinilai gagal atau malah mbalela, ia akan mudah diganti oleh kawannya yang lebih penurut dan berpotensi menjadi penggantinya. Masyarakat mungkin justru akan melihatnya sebagai tanda kebijaksanaan. Minimal, sebagai tanda keseriusan pengemban amanat penderitaan rakyat (kapan kita merdeka?), mandataris kedaulatan seluruh rakyat NKRI.

Kekhawatiran

Ada pengamat politik yang khawatir bahwa komposisi KIB II sekarang pun sudah menunjukkan bayang-bayang samar tentang agenda tersembunyi yang baru akan jelas pada saatnya. Juga tengara tentang adanya pengaruh asing dan atau pemilik modal besar dan sebagainya.

Bila demikian, lalu mengapa? Bukankah lebih dari 60% pemilih telah menentukan bahwa pasangan SBY-Boediono adalah Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2009-2014?

Bukankah dengan segera, seruan “SBY Berbudi” oleh Gamawan Fauzi (sekarang Mendagri) pada saat pasangan itu dideklarasikan secara mewah-meriah, sudah diralat agar tak menjadi sandungan?

Nyata bahwa mereka adalah pilihan sebagian besar rakyat Indonesia yang berhak memilih dikurangi sebagian rakyat Indonesia yang tak memilih mereka. Tetapi, semua – yang memilih maupun yang tidak memilih mereka – beserta sejumlah besar yang sengaja menghilangkan atau tak sengaja kehilangan hak pilih maupun yang tak diurus dengan baik oleh yang berwenang agar memiliki hak pilih. Semua, adalah rakyat Indonesia yang selama lima tahun ke depan akan dipimpin oleh SBY-Boediono yang sudah bersumpah melaksanakan tugas dan kewajiban mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

Kiranya bangsa Indonesia tak perlu khawatir berlebihan, tapi juga jangan pernah lengah terhadap berbagai kemungkinan. Saya percaya masih banyak cendekiawan berakal sehat dan bernurani bening, pegiat LSM yang jujur dan tak sekadar bertualang di rimba keruwetan maupun kekeruhan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, dan tentu saja … para mahasiswa – jantung hati rakyat – beserta segenap elemen bangsa akan bertindak secara konstitusional menghukum penyeleweng.

Yang penting, sistem dan aparat penyelenggara pemilihan umum cepatlah ditata sebaik-baiknya agar slogan luber dan jurdil tak hanya jadi seruan mereka yang merasa akan kalah, melainkan menjadi keyakinan setiap warga negara. Kalau jelas-jelas melanggar UUD 1945, cara yang sekarang dianggap inkonstitusional pun kelak akan mendapatkan pembenaran seperlunya. Bukankah sejarah bangsa ini juga diwarnai oleh sikap permisif semacam itu? Di sisi lain, bukankah tindakan inkonstitusional pemerintah (misalnya: tarik-ulur dan akal-akalan 20% APBN untuk anggaran pendidikan nasional yang diperintahkan UUD 1945) juga dimaafkan setelah tuntutan ‘dikabulkan’?

Penutup catatan

Ada pula yang menuding Pak SBY cuek terhadap ormas tertentu – yang berbasis massa terbesar dan punya kader di mana-mana – karena pada Pemilihan Umum Presiden 2009 kedua ormas itu dianggap tidak mendukungnya. Barangkali yang dituding suatu saat nanti akan mengadakan siaran pers untuk membantah tudingan semacam itu atau secara khusus menyinggungnya dalam acara ormas yang mengundangnya sebagai Kepala Negara. Selesai.

Rasanya catatan semacam ini dan juga yang ada di situs-situs lain hanya akan menjadi catatan pribadi dan bersama yang sekadar mengingatkan penulis dan pembacanya bahwa NKRI sedang melangkah menuju ke ‘kedewasaan’ dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab – sekali lagi – memilih petinggi parpol pendukung koalisi awali maupun yang tiba-tiba berbalik haluan setelah Ketua Umumnya diganti, apalagi profesional yang tidak neko-neko, dan sebagainya demi pencitraan pribadi pun adalah hak prerogatif pemimpin terpilih.

Semua tanggung jawab ada pada diri pemegang hak, sedangkan hak adalah milik yang bertanggung jawab. Dengan demikian, keraguan terhadap para menteri yang belum sempat bekerja dan membuktikan kinerja yang sesuai arahan penanggung jawab sebaiknya disublimasi oleh mereka yang telah dipilih untuk (lebih) setia kepada pemerintah (sebagai institusi, bukan pribadi!), bangsa dan negara ketimbang kepada parpolnya. Buktikan! Kalau tak mampu, jangan malu mundur, daripada diberhentikan dan diganti oleh yang lebih mau, eh, mampu!

Rakyat Indonesia telah memilih Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014 itu dalam satu paket. Namun, pemilihan para pembantunya adalah hak prerogatif presiden. Yang lain hanya berhak berkomentar seperlunya untuk mengingatkan diri sendiri dan mungkin juga orang lain, karena sadar kita ini pelupa. Hak prerogatif presiden itu adalah amanat UUD 1945 yang akan dijunjung tinggi oleh yang sudah mengucapkan sumpah jabatannya. Belum ada amandemen UUD 1945 lagi kan?

Tinggalkan komentar